Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xantorhizha Roxb, dari suku Zingibeaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 5,80% v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 4,0% dihitung sebagai kurkumin.
1. Pengambilan simplisia:
Rimpang temulawak di ambil atau di panen setelah berumur berumur 10 - 12 bulan, Temulawak yang dipanen pada umur tersebut menghasilkan kadar minyak atsiri dan kurkumin yang tinggi. Penanaman rimpang dilakukan pada saat awal musim hujan dan dipanen pada pertengahan musim kemarau. Saat panen yang tepat ditandai dengan mulai menge-ringnya bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah (daun dan batang semu).
2. Pengeringan
Rimpang temulawak tidak boleh dikeringkan langsung di bawah sinar matahari namun harus ditutup dengan kain hitam, karena kukuminoid pada temulawak sangat peka terhadap sinar ultraviolet atau dengan oven, blower dan fresh dryer pada suhu 30 - 500C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif, sehingga mutunya dapat menurun.
Pengaruh lain misalnya PH:
Pada buku Materia Medika Indonesia jilid IT1 (Anonim, 1979) disebutkan bahwa usaha untuk memperbaiki wama temulawak kering dapat dilakukan dengan tindakan blaizching yakni pendidihan irisan temulawak segar dalam air selama beberapa jam. Maksudnya adalah untuk mematikan enzim dan menghilangkan udara. Dengan rusaknya enzim, proses biokimia berikutnya dapat dicegah. Demikian pula pati yang dikandungnya akan mengalami gelatinisasi dan pada proses pengeringan akan merupakan masa yang homogen keras. Hal ini memungkinkan perlindungan terhadap perubahan kimia dan fitokimia. Wama yang diperoleh adalah coklat kuning menyala. Sekilas hal ini kelihatannya baik, akan tetapi setelah dicoba teryata banyak kerugian yang ditemui. Kerugian pertama adalah hilangnya sebagian minyak atsiri karena pada pendidihan selama satu jam banyak komponen minyak atsiri yang menguap terbawa oleh uap air. Kerugian kedua adalah turunnya kadar kurkuminoid karena terrnasuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan.
1. Indentifikasi Simplisia :
1) Pemerian :
Berupa kering tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah hingga 6 cm, tebal 2-5 mm: permukaan luar berkerut, warna coklat kekuningan hingga coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan , tidak rata, sering ada tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit, tebal 3-4mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga hingga cokelat jingga terang, bau khas rasa tajam, agak pahit.
2) Parameter spesifik dan non spesifik
· Susut pengeringan : Tidak lebih dari 13 %
· Abu Total : Tidak lebih dari 4,8%
· Abu tidak larut asam : Tidak lebih dari 0,7 %
· Sari Larut Air : Tidak kurang dari 9,1 %
· Sari larut Eatnol : Tidak kurang dari 3,6%
Kandungan Kimia Simplisia :
· Kadar Minyak Atsiri : Tidak kurang dari 5,80 %
· Kadar Kurkuminoid : Tidak kurang dari 4,0 %
2. Analisis Mikroskopis
Fragmen pengenal adalah berkas pengangkut, parenkim kortex, serabut sklerenkim, butir amilum dan jaringan gabus, (gambar pada Farmakope herbal Indonesia hal 151.)
3. Senyawa identitas
Xantorizol
Struktur kimia :
4. Pola Kromatografi
Fase gerak : Toluen P-etil asetat P (93:7)
Fase diam : Silika Gel 60 GF254
Larutan Uji : 0,1 % dalam toluen P, gunakan larutan uji KLT
Larutan pembanding : 0,1 % xantorizol dalam toluen P
Volume penotolan : Totolkan 20 µL larutan uji dan 5 µL larutan pembanding
Deteksi : Biru permanen LP dan amonium hidroksida
Daftar pustaka :
Anonim. 2007. Teknologi Penyiapan Simplisia Terstandar Tanaman Obat. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Anonim. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1. Jakarta : DEPKES RI
Pramono, Suwijiyo. 2006. Peningkatan Efektivitas dan Daya Saing Obat Alami Indonesia. Yogyakarta :UGM
0 komentar:
Posting Komentar